Senin, 06 Juli 2015

TIMBUKTU [2014]

Kelompok agama radikal adalah kelompok-kelompok penebar teror yang dengan seenaknya mengatas namakan dirinya dengan suatu agama tertentu. Tidak hanya satu agama saja bahkan, banyak agama yang ada telah dicemarkan oleh kelompok radikal tersebut. Berbagai aturan yang ada dalam agama pun disalahgunakan tanpa memiliki pengetahuan lebih akan hal itu. Dengan cermatnya, Abderrahman Sissako memanfaatkan isu yang sedang marak tersebut untuk membuat film ini. Sesuai judulnya, film ini bersettingkan Kota Timbuktu yang ada di Mali. Pada tahun 2012, kota ini sempat dikuasai oleh kelompok radikal bernama Ansar Dine.     

Seorang penggembala sapi bernama Kidane (Ibrahim Ahmed) memilih untuk tinggal di gurun demi mencari keselamatan dan ketenangan dari gangguan para kelompok radikal. Bersama istrinya, Satima (Toulou Kiki) dan anak perempuannya, Toya (Layla Walet) serta penggembala asuhnya, Issan (Mehdi Ag Mohammed), mereka hidup dengan damai meski harus jauh dari peradaban manusia. Dalam kesehariannya, Kidane dibantu oleh Issan dalam menggembalakan sapi di dekat sungai. Insiden pun terjadi dan melibatkan Kidane dengan seorang nelayan, Amadou (Omar Haidara), hingga membuatnya harus menerima hukuman berat dari kelompok radikal.
Ketika Timbuktu dikuasai oleh kelompok radikal ini, banyak sekali aturan yang memberatkan para warganya, seperti dilarang merokok, mendengarkan/memainkan musik, dilarang bermain sepak bola, wanita harus memakai sarung tangan dan berhijab, dan masih banyak lainnya. Dengan mengatasnamakan Islam, para kelompok radikal ini pun memaksakan aturan tersebut pada warga Timbuktu yang non-muslim sekalipun. Tentu saja, penolakan datang dari dari beberapa pihak yang merasa keberatan. Mereka merasa aturan tersebut tidak sesuai dengan apa yang mereka anut dan percayai. 

Timbuktu adalah kota dengan warga yang multi-etnis. Sejauh saya menonton film ini, ada dua ras warga yang menghuni Timbukti, warga ras Afrika dan ras Timur Tengah, yang (kemungkinan) mayoritasnya beragama Islam. Bahasa yang digunakan pun juga beragam, mulai Bahasa Arab, Inggris, Perancis, hingga bahasa lokal seperti Bambara. Sedangkan untuk kaum nomaden seperti Kidane, menggunakan Bahasa Tamasheq. 

Meski para kelompok radikal memaksakan aturan di sana sini, tapi kenyataannya berbicara lain. Mereka melarang untuk bermain sepak bola, tapi konyolnya, beberapa dari mereka justru mengobrol tentang Barcelona dan Real Madrid di sebuah gang. Salah satu pimpinan militan, Abdelkerim (Abel Jafri) bahkan merokok, meskipun diam-diam agar tidak ketahuan. Parahnya, mereka melarang warganya memutar radio sekalipun berisikan sholawat (pujian) kepada Nabi. Keambiguan para karakter dalam kelompok radikal ini ditampilkan oleh Sissako dengan begitu konyol, tapi juga miris untuk dilihat. Sepertinya, Sissako ingin menunjukkan kepada publik tentang kebodohan para kelompok radikal yang memiliki pemikiran begitu dangkalnya terhadap pemahaman agama. Mereka juga digambarkan dengan sifat sok tahu dengan membantah ulama yang lebih berilmu. Tidak kalah bodohnya, mereka memasuki masjid sambil menenteng senjata dengan alasan berjihad, padahal banyak orang yang akan beribadah.

Dari menit awal, Sissako sudah mencoba menampilkan sisi buruk dari pengikut radikal. Sepanjang film berjalan, banyak sekali adegan yang menampilkan kebodohan para kelompok radikal ini, dan semuanya sudah lebih dari cukup untuk mendeskripsikan seperti apa sebenarnya sisi lain dari kelompok ini. Mereka tidak lain hanyalah sekelompok penebar teror yang tidak dapat mempelajari dengan baik pengetahuan tentang agama, dan seenaknya sendiri memaksakan aturan-aturan meski pada seseorang yang tidak sesuai dengan agamanya. Lalu, apa hubungannya dengan Kidane dalam hal ini ?. 

Awalnya kita tahu, bahwa hidup Kidane bersama keluarganya sangat tenang dan damai tanpa bersentuhan dengan masalah apapun. Hingga insiden terjadi, membuat Kidane harus diadili oleh kelompok radikal. Seperti halnya warga Timbuktu non-muslim lainnya, Kidane juga merasa mendapat ketidakadilan hukuman yang seharusnya tidak ditimpakan padanya yang seorang non-muslim. Tapi sebelum itu, Kidane sempat memberikan ‘khotbah’ singkatnya untuk kelompok radikal ini, bahwa ia juga sama-sama meyakini satu Tuhan, dan ia percaya bahwa hanya Tuhan yang pantas untuk mengadilinya. Nasib Kidane memang tidaklah mujur. Sejauh-jauhnya ia bersembunyi di tempat yang aman dan menjauhi konfrontasi, tapi akhirnya terseret juga.

Sampai di sini, saya mencoba untuk menangkap apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Sissako. Bahwa, kelompok radikal yang mengatasnamakan agama ini dengan mudahnya memberikan aturan / hukuman pada suatu warga tertentu, tidak pandang ia memeluk agama apa. Mereka menyamaratakan bahwa aturan yang mereka resmikan harus diterima oleh semua warga tanpa terkecuali. Sissako mengkritisi tindakan mereka yang merasa paling benar, bahwa hanya mereka sajalah yang memiliki Tuhan. Tidak hanya itu, Sissako juga menampilkan kebodohan kelompok radikal ini dengan sedikit sentuhan ‘lucu’, supaya kita juga ikut menertawai betapa bodohnya orang-orang yang gagal mencerna ilmu agama ini. Sissako berhasil dengan baik menciptakan Kidane, sosok ‘kecil’ yang memberikan perlawanan dan ketegasannya pada kelompok radikal, bahwa orang di luar dari agama yang mereka anut pun juga mengenal Tuhan. Satu-satunya Tuhan. Dan Tuhan pun bukan milik satu kelompok / agama tertentu saja, melainkan milik semua yang percaya kepadaNya.
ATAU
8,5 / 10

1 komentar:

  1. kalo tidak salah CMIIW, Kidane juga muslim. Ada scene anaknya kidane lagi ngobrol sma issan, sedangkan dibelakng terlihat ibunya sedang melakasanakn ibadah sholat.

    BalasHapus

AYO KITA DISKUSIKAN !