Minggu, 30 Agustus 2015

WHEN MARNIE WAS THERE [2014]


Akhirnya sempat juga menikmati karya terakhir dari Studio Ghibli sebelum masa hiatusnya ini. “When Marnie was There” ini diadaptasi dari novel karya Joan G. Robinson, dan disutradarai oleh Hiromasa Yonebayashi. Ia juga menjadi bagian dari penulisan naskahnya. Uniknya, dua nama besar dari Studio Ghibli, Hayao Miyazaki dan Isao Takahata yang terkenal lewat “Grave of The Fireflies” (1988) justru tidak menyutradarai karya perpisahan sementara ini. Tapi jauh sebelumnya saya sudah menonton karya dari Hiromasa Yonebayashi yang berjudul “The Secret World of Arrietty” (2010). Pertanyaannya adalah, layak kah “When Marnie was There” menjadi karya perpisahan hingga waktu yang belum pasti ini ?.

Masih berkisah tentang kehidupan seorang anak-anak, yaitu tentang Anna Sasaki (Sara Takatsuki), gadis berusia 12 tahun yang tinggal di Sapporo. Anna adalah sosok penyendiri, pemurung, dan sulit mengungkapkan isi hati. Kesehariannya semakin berat karena ia mengidap penyakit asma. Ibu angkatnya, Yoriko (Nanako Matsushima) lantas mengirimnya ke kerabatnya yang tinggal di Kota Kushiro, Hokkaido. Anna yang hobi menggambar, merasa tertarik sekali menggambar rumah tua di dekat rawa-rawa. Maka, dimulailah kejadian misterius melalui pertemuannya dengan gadis berambut pirang, Marnie (Kasumi Arimura).

Dari Sapporo menuju Hokkaido. Dari pulai di ujung utara Jepang menuju ke pulau paling selatan. Perjalanan di musim panas tersebut bukanlah sekedar terapi bagi penyakit asma yang diidap oleh Anna, melainkan lebih dari itu. Bisa dikatakan itu merupakan petualangan ‘spiritual’ bagi Anna demi mencari jawaban atas berbagai alasan yang membuat ia membenci dirinya sendiri. Karakter Anna di sini memang digali sangat dalam sekali, berikut dengan Marnie juga tentunya. Anna sendiri mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai “orang yang berada di luar lingkaran”, maksudnya adalah orang yang berjalan di ‘jalan’ yang berbeda dengan kebanyakan orang. Anna digambarkan sebagai pribadi yang penyendiri dan hampir tidak memiliki teman sebaya. Tapi tentunya, kita sudah dapat mengerti bahwa pertemuan dengan Marnie kemudian akan mengubah jalan pemikiran dan kehidupannya sendiri.   

Lantas siapakah Marnie ?. Dari ciri-ciri fisiknya, rambut pirang dan bermata biru, jelas Marnie bukanlah karakteristik orang Jepang pada umumnya. Sejak awal pun, Anna dan Marnie memang sudah dihubungkan dengan benang merah berupa clue yang semakin menguatkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang begitu kuat. Bahkan, waktu pertama kalinya Anna berdiri di depan rumah megah milik Marnie pun sangat terasa unsur magical-nya. Rasanya, memang sudah wajib hukumnya bahwa unsur-unsur magis semacam ini harus selalu ada dalam karya-karya Studio Ghibli. Memang kadarnya tidak se-magis dalam film-film sebelumnya lewat kemunculan aneka macam creature dan semacamnya, tapi tetap saja bahwa film ini tidak bisa disangkal keberadaan akan kemagisannya yang kuat. Jikalau dibanding dengan perwujudan semacam creature yang terlalu fantasy, unsur magis yang dihadirkan dalam “When Marnie was There” ini memiliki aura yang dapat menggetarkan hati dan sanggup membuat merinding.  

Sejak kemunculan Marnie yang sungguh misterius, tentu saja berbagai macam pertanyaan tidak akan pernah lepas dari benak penonton terkait keeksistensian dari Marnie itu sendiri. Imaginary friend kah ?. Hantu kah ?. Namun, ketika hubungan Anna dan Marnie diperlihatkan dengan ‘intimnya’ dan seakan mereka hidup untuk saling melengkapi satu sama lain, seakan menghabiskan waktu jika kita hanya memikirkan identitas mengenai Marnie yang sesungguhnya. Yang ada kita akan disuguhkan dengan persahabatan yang erat, saling mengasihi, dan saling menutupi kekurangan masing-masingnya. Saya sebagai penonton pun turut senang melihat transformasi dari seorang Anna yang sebelumnya terlihat ‘suram’ namun sedikit demi sedikti mulai menampakkan ‘cahaya’ lewat senyuman tipisnya dan cara bicara yang lebih bersahabat. Mungkin ini terlalu subjektif, tapi dengan melihat karakter Anna, saya pun seakan melihat diri saya sendiri tercermin dalam dirinya. Imbasnya, saya jadi sangat mencintai karakter Anna ini. Begitupun juga dengan Marnie.

“When Marnie was There” ini bisa disebut sebagai drama coming-of-age, Hiromasa Yonebayashi menggunakan pendekatan melalui kisah ‘tumbuhnya’ seorang remaja dalam mengatasi segala kelemahan (atau mungkin ketakutan ?) untuk menjadi pribadi baru yang lebih baik. Kisah sederhana tentang tumbuh kembang seorang anak-anak menuju fase remaja semacam inilah yang membuat saya sangat lekat dengan karya-karya Ghibli. Dan kembali lagi, Studio Ghibli menggunakan karakter wanita dalam posisi protagonis utama seperti kebanyakan karya yang sudah-sudah (*silakan baca ulasan lain terkait Ghibli di blog ini). Proses pendewasaan tersebut rupanya tidak hanya berlaku bagi hubungan Anna dengan Marnie semata, melainkan juga hubungannya dengan sang ibu angkat, Yoriko. Anna yang sebelumnya merasa ada sekat di antara mereka berdua terutama dari cara memanggilnya yang ‘kaku’, pun mulai mendapat jawaban dari petualangan spiritual ini.

Anna dan Marnie, keduanya bagaikan Gil dan Adriana dalam “Midnight in Paris” (2011). Hubungan keduanya memang misterius, tapi terasa sangat akrab, hangat, dan tidak lupa sentuhan magis yang begitu hebat. Kisah yang indah dengan penuh kesederhanaan ini layaknya pengoyak memori lama ketika kita sendiri telah jauh berjalan dalam kebimbangan. Maka tanpa diragukan lagi, “When Marnie was There” adalah bingkisan manis sebagai salam perpisahan (sementara) dari Studio Ghibli.


8,5 / 10

1 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !