Rabu, 16 September 2015

TALE OF TALES [2015]


Bahwasanya bila fairytale tidak selalu berakhir dengan bahagia memang ada benarnya juga. Saya pun terkadang juga berfikir seperti itu. Dewasa ini fairytale pun sudah tidak lagi identik dengan dunia anak-anak yang menyenangkan. Bahkan jauh dari bayangan kebanyakan anak-anak bahwa fairytale dipenuhi dengan aneka macam keindahan, yang ada adalah justru setiap bagiannya berisikan kesedihan, kekejaman, dan nuansa yang kelam. Mungkin itulah yang sedikit saya tangkap dari karya Guillermo del Toro berjudul “Pan’s Labyrinth” (2006). Senada dengan film tersebut, karya sutradara Itali Matteo Garrone bertajuk “Tale of Tales” ini setidaknya juga mempergunakan premis menarik tersebut.

“Tale of Tales” terdiri dari tiga segmen, yang pertama (“The Enchanted Doe”) berkisah mengenai Raja (John C. Reilly) dan Ratu dari Longtrellis (Salma Hayek). Sang Ratu sangat menginginkan seorang anak hingga kemudian datanglah necromancer menawarkan bantuan untuk memecahkan masalah itu. Necromancer lalu meminta Sang Ratu untuk memakan jantung monster laut yang dimasak oleh perawan. Tidak lama Sang Ratu pun mengandung seorang putra. Tapi, ada harga mahal yang harus dibayar dari hal tersebut. Segmen berikutnya (“The Flea”) bercerita tentang Raja dari Highhills (Toby Jones) yang memelihara seekor kutu misterius dan segmen terakhir (“The Flayed Old Lady”) mengenai Raja dari Strongcliff (Vincent Cassel) yang amat bernafsu pada setiap wanita muda yang cantik.
Tiga segmen yang merupakan kesatuan utuh dari “Tale of Tales” memiliki setting yang sama. Ketiganya masing-masing memiliki sosok raja yang hidup bertetangga walau tidak pernah ditampilkan terlihat saling bercakap-cakap satu sama lainnya. Namun, penggambaran seorang raja dari ketiganya tersebut tidaklah sama. Raja di segmen pertama memiliki pendamping seorang ratu tapi tanpa kehadiran seorang anak. Raja di segmen kedua memiliki seorang putri yang cantik tanpa seorang ratu yang mendampingi. Sedangkan raja di segmen ketiga tidak nampak memiliki seorang pasangan ataupun anak meski ia gemar bercinta dengan banyak wanita. Ketiganya sebenarnya tidak banyak mendapatkan sorotan dari tiap segmennya, sebab yang lebih diangkat adalah karakter lain yang berada di sekitarnya. Sebagai contoh di segmen pertama lebih berfokuskan pada Sang Ratu dan hubungan putranya dengan sahabatnya dari golongan bawah. Tapi dari ketiganya tersebut tetap memiliki unsur dari fairytale yang sering dituturkan dari masa ke masa.

Secara keseluruhan dari setiap bagian cerita yang ada dalam “Tale of Tales” mungkinlah tidak terasa familiar. Tapi dari segi konsep cerita “Tale of Tales” berisikan rangkuman dari cerita dasar yang selalu dimiliki oleh setiap fairytale. “Tale of Tales” mungkin berbeda dengan franchise “Shrek” atau “Into The Woods” (2014) yang menggabungkan aneka macam dongeng-dongeng terkenal ke dalamnya, karena apa yang ada di sini lebih pada konsep dasar dari setiap dongeng-dongeng tersebut. Dengan kata lain di sini ada kisah tentang raja dan ratu di era medieval, sayembara mendapatkan isteri, putri yang mendamba pangeran, hingga obsesi menjadi wanita muda yang cantik. Semua konsep yang biasanya ada dalam dongeng semacam itulah banyak dituangkan ke dalam film ini. Hanya bedanya di sini Matteo Garrone banyak bermain dalam nuansa yang kelam dan mengangkat cerita yang penuh kesedihan dan hasilnya adalah fairytale yang tidak bersegmentasi pada audiens di kalangan anak-anak.  

Apa yang ingin dilakukan oleh Matteo Garrone di sini tidak lain adalah memaparkan sebuah fakta-fakta yang pada dasarnya fairytale memang memiliki unsur yang begitu gelap di dalamnya. Sekalipun ada secercah kebahagian, itu saja tidak akan berlangsung lama. Saya ambilkan contoh pada segmen pertama berjudul “The Enchanted Doe” yang mana Sang Ratu begitu menginginkan sekali memiliki anak. Kebahagian pun datang dengan lahirnya sang putra yang begitu ‘ajaib’, tapi apakah ke depannya kebahagian terus mengelilingi kehidupan Sang Ratu ?. Ternyata tidak !. Rupanya ada bayaran yang bersifat ‘memilukan’ dari kebahagian dan ketenteraman yang ia dapatkan tersebut. Dari latar belakangnya “Tale of Tales” ini banyak mengadaptasi koleksi dongeng milik sastrawan Itali bernama Giambattista Basile. Sebuah koleksi dongeng-dongeng yang merupakan akar dari berbagai macam dongeng terkenal di seluruh dunia seperti “Cinderella”, “Sleeping Beauty”, hingga “Rapunzel”. Dengan kata lain dari bukti tersebut kita dapat memahami bahwa sedari awal fairytale memang sudah dikonsep dengan pendekatan yang lebih berat, dewasa, dan kelam.  
   
Dari ketiga dongeng tua tersebut saya menangkap hal pokok di dalamnya berupa ‘obsesi’. Ketiganya berisikan hal itu dimana ketika obsesi yang begitu besar menguasai manusia, maka yang sering terjadi adalah ia sering menyingkirkan ‘cinta’ yang sebelumnya bersemayam di dalam hatinya. ‘Cinta’ yang tertanam kuat itu rasanya tidak ada nilainya lagi ketika obsesi telah berbicara dan meminta untuk lebih dan lebih. Hubungan ibu-anak, ayah-anak, dan sesama saudara diangkat secara mendalam di sini yang rupanya di baliknya terselip sisi gelap yang begitu pekat. Dengan dasar dari isi tersebut, “Tale of Tales” kembali menguatkan bahwa sejatinya fairytale tidak selamanya berakhir indah dan seperti bayangan anak-anak pada umumnya. Matteo Garrone menghadirkannya dengan cukup bagus melalui plot yang saling berloncatan tapi tetaplah mengasyikkan untuk diikuti. Layaknya del Toro, Garrone cukup sukses dalam menghidupkan kembali fairytale yang tidak kekanak-kanakan lengkap dengan segala intriknya.

Sebagai tambahannya, “Tale of Tales” juga didukung dengan set lokasi, kostum, hingga desain creature yang bagus meski tidak sampai level epic seperti dalam film-film Hollywood. Walau tidak ada penggalian karakter secara mendalam di ceritanya, namun masih bisa diterima lewat penuturannya yang tergolong generik lengkap dengan konflik-konflik yang menarik.  

8 / 10

6 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !