Jumat, 20 November 2015

TANGERINE [2015]

Film karya sutradara Sean S. Baker ini hampir keseluruhannya diambil dengan menggunakan 3 smartphone iPhone 5s. Berbekal beberapa aplikasi tambahan, maka jadilah film sederhana yang didominasi saturasi warna jingga kekuningan layaknya sebuah jeruk (tangerine). “Tangerine” sederhana dari segi pengemasannya, tapi memiliki kompleksitas cerita dengan kejujuran dari caranya bertutur. Penuh umpatan dan makian, membuat “Tangerine” yang naskahnya ditulis oleh Chris Bergoch dan Sean S. Baker sendiri ini semakin menonjol dari penceritaannya yang tanpa perlu ditutupi dengan kepalsuan. Vulgar dan bebas, tapi tidak membuat risih bagi penontonnya sebab begitu memukau dan menggemaskannya apa yang akan kita lihat dan dengar dalam lika-liku ceritanya.

Diawali dengan 2 PSK transgender yang tengah berbagi sebuah donat, Sin-Dee Rella (Kitana Kiki Rodriguez) dan Alexandra (Mya Taylor), kemudian berlanjut pada percakapan ringan keduanya. Tidak lama, Alexandra memberitahukan bahwa kekasih Sin-Dee, Chester (James Ransone) telah berselingkuh. Marah karena telah diselingkuhi ketika 28 hari ia ditahan, Sin-Dee bergegas mencari wanita selingkuhan Chester yang telah diketahuinya berinisial “D”. Bergegas Sin-Dee menyusuri jalanan Kota Los Angeles dengan menanyakan beberapa orang sebagai saksi, sementara Alexandra sibuk membagikan selebaran perform-nya di sebuah kafe di malam Natal. Apa yang terjadi kemudian ?.

Sepanjang petualangan pencarian itu, “Tangerine” banyak diisi dialog dari Sin-Dee dan Alexandra yang penuh dengan kata-kata vulgar. Tapi terselip sensasi humor menyegarkan di dalam percakapan mereka berdua tersebut. Salah satunya yang membuat saya terkekeh-kekeh adalah ketika mereka mengutuk dunia dan menyalahkan Tuhan karena mereka diciptakan sebagai pria. Percakapan-percakapan model seperti inilah yang nantinya banyak menghiasi pencarian selingkuhan Chester yang hanya berlangsung dalam waktu sehari saja. Dalam seting waktu sehari itu, petualangan menarik nan lucu berhasil dihadirkan dengan baik. Bicara dari segi alurnya, “Tangerine” memang sesederhana media yang digunakan untuk mengambil gambarnya. Namun dari kesederhanaan itu, terpancarlah sebuah kejujuran dalam menyoroti kehidupan PSK transgender yang diwakilkan pada karakter Sin-Dee dan Alexandra. Terpampang jelas dinamika kehidupan mereka yang sejenak bila kita lihat penuh dengan warna-warni keceriaan.

Musik-musik elektronik memenuhi hampir keseluruhan film ini. Selaras dengan begitu berenerginya pergerakan kamera menangkap kehidupan sehari-hari para transgender yang cerah ceria di jalanan Kota Los Angeles itu. Ya, pandangan awal kita mungkin melihat bahwa mereka sering bersenda gurau dengan temannya tidak memunculkan permasalahan yang dihadapi. Namun pada hakikatnya, kehidupan yang dijalani oleh mereka-mereka ini begitu berat juga. Mereka acap kali dipermalukan dan dianggap rendah bahkan terkadang kliennya menolak untuk membayar. Seperti apa yang menimpa Alexandra hingga harus berkelahi dengan seorang pria yang tidak mau membayar setelah ‘bertransaksi’. Hari-hari yang dilalui itu memang berat, dan mereka pun seolah melindungi diri dari kepalsuan tawa. Begitu kita masuk lebih dalam lagi pada kehidupan mereka, Sin-Dee dan Alexandra khususnya, maka yang akan kita dapati adalah gambaran isi hati yang begitu apa adanya.

Penokohan pada Sin-Dee dan Alexandra ini berbanding terbalik dengan Razmik (Karren Karagulian), seorang sopir taksi asal Armenia yang merupakan salah satu pelanggan tetap dari karakter utama di sini. Ia ‘mencurangi’ istrinya dan membohongi keluarganya pada malam Natal, padahal ia begitu ingin bertemu Sin-Dee yang dikaguminya. Razmik sering menggunakan jasa prostitusi transgender, sebaliknya ia tidak menyukai berhubungan dengan prostitusi dari kalangan ‘wanita normal’. Dalam salah satu adegan ia justru marah-marah lalu mengusir PSK wanita yang sebelumnya dikira transgender. Tidak mau kalah dengan Sin-Dee dan Alexandra, Razmik diberikan screentime yang cukup untuk menggambarkan kesehariannya dan interaksinya dengan keluarganya yang cukup hangat. Namun di baliknya Razmik berkhianat, sebagai bentuk penegasan akan kebohongan yang merupakan lawan dari kejujuran yang disandang oleh Sin-Dee dan Alexandra. Jujur dalam berucap dan berpenampilan, dalam bersahabat maupun juga dalam hal cinta.     

Bahagia dalam kesederhanaan. Itulah yang saya lihat dalam Sin-Dee dan Alexandra yang telah terikat kuat masing-masingnya. Dua karakter yang menutup film dengan senyuman akan rasa saling memiliki di saat Kota Los Angeles tidak sebegitu berpihak pada keduanya. Mereka berdua tetap mampu bertahan dan saling menopang serta melengkapi, walau keterbatasan materi tidak jadi penghalang. Karakter Sin-Dee dan Alexandra begitu dihidupkan dengan baik dan apa adanya, mengingat Kitana Kiki Rodriguez dan Mya Taylor nyata seorang transgender tanpa pengalaman akting sebelumnya. Faktor tersebut berpengaruh besar dalam melahirkan sebuah performa yang murni seperti keduanya tidak sedang menghafalkan naskah. Jika dideskripsikan dengan singkat, “Tangerine” memang adalah film yang bercerita tentang kejujuran dan kesederhanaan. Baik itu jujur dan sederhana dalam menghantarkan cerita, maupun dalam proses produksi di baliknya.
8 / 10

1 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !