Senin, 30 November 2015

THE LITTLE HOUSE [2014]


Pada hakikatnya, sebuah rumah memberikan kenangan tersendiri bagi si empunya. Baik itu kenangan manis maupun pahit, semua tercampur menjadi satu menghiasi tembok dan langit-langitnya lalu menciptakan harmonisasi yang indah. Lebih lanjut lagi, esensi sebuah rumah tidak sekedar melindungi si pemilik dari panas maupun dinginnya cuaca atau hujan serta badai saja. Melainkan sudah lebih dalam lagi ketika rumah juga mengayomi dan memberikan ketenangan serta kehangatan bagi si pemiliknya. Seperti itulah kira-kira apa yang tergambar dalam “The Little House” yang disutradarai Yoji Yamada (The Twilight Samurai, 2002).

“The Little House” terbagi menjadi 2 seting cerita. Yang pertama ketika si narator sekaligus karakter utama, Taki Nunomiya (Chieko Baishō) membacakan autobiografinya di usia senja dan teringat masa mudanya ketika menjadi pelayan di Tokyo. Taki muda (Haru Kuroki) datang jauh dari daerah bersalju di Yamagata, menuju Tokyo yang menjadi tempat peraduan nasib. Ia mengawali karir sebagai pelayan di rumah keluarga Hirai. Sang kepala keluarga, Masaki (Takatarō Kataoka) bekerja di sebuah perusahaan mainan, tinggal dengan tenang dan damai di sebuah rumah beratap merah bersama istrinya, Tokiko (Takako Matsu) dan putra tunggalnya, Kyoichi (Satoshi Akiyama).

Film ini banyak mengambil seting di era Showa antara tahun 1930-40an ketika Taki masih belia. Bersamaan pula dengan gencarnya Jepang dalam penaklukan Nanjing di Tiongkok yang lantas menyeretnya pada Perang Dunia II. Berkecamuknya perang di Asia Timur Raya berbanding 1800 dengan kedamaian yang tercipta dalam rumah keluarga Hirai. Rumah mungil bergaya baru (kala itu) dengan atap merah tersebut nampak adem ayem saja, seolah hiruk pikuk perang tidak pernah menyentuhnya sedikitpun. Kecuali berita-berita yang seringkali dibawa Tuan Masaki beserta koleganya. Seringkali, kebahagiaan yang diekspresikan Taki dalam tulisannya mendapat pertentangan dari Takeshi (Satoshi Tsumabuki), yang tidak lain merupakan anak asuhnya di masa sekarang. 

Memang benar bila pada era tersebut banyak yang menderita akibat peperangan seperti kelaparan dan kematian besar-besaran. Tapi justru apa yang dirasakan oleh Taki adalah sebuah kebahagian bisa dekat dengan keluarga Hirai. Khususnya pada sang nyonya, Tokiko, yang paling ia akrabi. Yoji Yamada menghadirkan perbedaan sudut pandang yang menarik lewat karakter Taki dan Takeshi di film ini. Sebuah kewajaran jika mengingat rumah keluarga Hirai menjadi sekat pemisah antara Taki dengan dunia luar. Dari sinilah, “The Little House” mulai terasa sangat menarik meski Yoji Yamada sendiri belum memaparkan intrik apa yang akan terjadi di depan.

Jauh dari tempat asal, Taki muda begitu beruntung mendapatkan keluarga baik-baik yang begitu menyayanginya meski hanya sebagai seorang pelayan. Setiap momennya penuh dengan tawa renyah dan kehangatan. Rumah kecil beratap merah itu menjadi saksi bisu betapa indahnya kenangan-kenangan yang pernah digoreskan di sana. Terbuai dengan kedamaian seolah tanpa ujung, Yoji Yamada menghadirkan problematika dalam keluarga Hirai lewat karakter Masaharu Itakura (Hidetaka Yoshioka). Masaharu adalah anak buah dari Masaki, diam-diam memiliki affair dengan Tokiko. Babak baru dalam kehidupan keluarga Hirai pun dimulai.

Ada senang adapula kesedihan. Ada cinta adapula pengkhianatan. Seperti realita yang terjadi dalam keluarga pada umumnya, gejolak selalu saja muncul untuk mencoba menggoyahkannya. Yoji Yamada menghadirkan manis pahit itu dengan proporsi yang seimbang. Lewat musik-musik racikan Joe Hisaishi yang berpadu sempurna, Yoji Yamada membuat “The Little House” semakin mudah dalam menggaet emosi penontonnya. Ketika momen bahagia muncul, senyum tipis muncul dari bibir penonton. Ketika giliran momen sedih yang datang, rasa sesak pun tidak bisa dihindarkan. Tapi hebatnya, Yoji Yamada tidak menciptakan permasalahan dalam film ini berkesan depresif. Hasilnya, “The Little House” tidak berusaha banyak memeras air mata dan sentuhan kehangatannya masih bisa dirasakan.   
     
Prahara dalam rumah keluarga Hirai adalah sebagian kecil dari konflik dalam film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Kyoko Nakajima ini. Lewat novel tersebut pula, Yoji Yamada juga mengangkat isu-isu relevan kala itu yang kesemuanya terkait pada terlibatnya Jepang dalam Perang Dunia II. Perang yang pada akhirnya tidak hanya memporak porandakan lahan industri di Jepang, tapi juga memisahkan 2 insan dalam ikatan cinta yang dilematis dan tidak terbalaskan. Rasa haru pun seketika muncul dengan dibarengi hujan deras yang merepresentasikan kegagalan keduanya. 

Walau isu-isu macam perang yang berakibat pada kelumpuhan ekonomi Jepang sering didengungkan, tapi secara gamblang tidak coba divisualkan lewat desingan peluru. Bahkan, kamera dari Masashi Chikamori saja tidak mau beranjak dari rumah beratap merah yang penuh kenangan itu. Semua adegan dalam film memang lebih banyak didominasi pada pengambilan gambar baik pada luar maupun dalam rumah beratap merah itu. Menegaskan bahwa rumah kecil yang penuh sesak dengan memori indah inilah yang menjadi sorotan utama dan tidak bisa dilepaskan barang sejenak. 

Saya cukup sering menemui film-film yang bagus. Tapi tidak semua film yang bagus memberikan kesan yang mendalam setelah menontonnya. “The Little House” adalah satu dari sekian film yang membuat saya berkesan dan selalu ingin mengenangnya. Setiap momen indahnya, kejadian pahitnya, tawa dan tangisnya terangkum jelas dalam sebuah film sederhana ini. Seberapa mengerikannya bombardir bom, seberapa menakutkannya hantaman peluru, tidak akan mampu menghancurkan kenangan dalam rumah mungil ini. “The Little House” pun kembali mengingatkan saya bahwa rumah tidak sekedar tempat mengisi perut dan merebahkan tubuh di kasur semata, tapi dimana sebuah kenangan dibangun.

8,5 / 10

1 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !