Senin, 23 November 2015

TU DORS NICOLE [2014]

Tidak perlu mencarinya jauh-jauh, bila terkadang kebahagiaan itu muncul dari hal-hal sederhana yang ada di sekitar. Namun seringkalinya seseorang belum menyadari itu bahkan memilih pelarian terjauh demi mendapatkannya. Stéphane LaFleur menuturkan keadaan tersebut pada film arthouse hitam-putihnya dengan terjemahan judul “Kau Tidur, Nicole”. Stéphane Lafleur menggunakan salah satu tema yang kerap kali dipakai dalam arthouse, yaitu coming-of-age drama. Cukup beralasan bila menggunakannya, karena coming-age-age sendiri sangat dekat pula dengan tema experience yang mengitari kaum muda-mudi, dalam hal ini pencarian kebahagiaan dalam kesederhanaan. So, pengalaman macam apakah yang coba diceritakan oleh LaFleur dengan naskah yang ditulisnya sendiri ini ?  
 

Pada musim panas menyengat, Nicole (Julianne Côté) lebih banyak mengisinya dengan bekerja sambilan di sebuah toko baju bekas dan memilih meninggalkan seluruh tugas rumah. Bersama sahabatnya Véronique (Catherine St-Laurent), ia berencana berlibur ke Islandia dan menghabiskan sisa liburannya di sana. Berbekal kartu kredit yang diamanahkan orang tuanya, Nicole berharap liburan musim panas kali ini mendapatkan kemudahan untuk melakukan ini dan itu. Namun semua berubah ketika kakak Nicole, Rémi (Marc-André Grondin) datang ke rumah dan mengajak kedua temannya, JF (Francis La Haye) dan Pat (Simon Larouche) ngeband sembari rekaman lagu di sana. Merasa terganggu, bagaimanakah rencana Nicole selanjutnya ?.  

Nicole bukanlah satu dari sedemikian remaja yang resah menghabiskan masa liburan di musim panas. Bekerja sambilan memang sebagai pengisi waktu, tapi ia merasa tidak menikmati hal tersebut. Keadaan yang sama juga dirasakan oleh Véronique. Maka, rencana bepergian ke Islandia adalah jalan keluar dan kartu kredit dari orangtuanya merupakan sarana penyukses remaja 22 tahun itu. Cuaca yang panas cukup menjadikan Islandia sebagai alasan destinasi mengingat Nicole sendiri juga bermasalah dengan tidurnya. Karakter Nicole sendiri dapat dikatakan “bahagia dalam ketidak bahagiaan”. Nicole tampak enjoy dengan setiap waktunya. Ia punya cukup banyak alasan untuk mewujudkan kebahagiannya tersebut dengan orang-orang di sekitarnya. Namun ia tidak mudah puas dan memilih jalan lain yang ia sendiri tidak mampu menerawang sukses atau tidaknya. Bahkan, ia menjadikan orang-orang di sekitarnya itu sebagai penghalang. Baik itu berlaku untuk Rémi dan teman-temannya, serta Martin (Godefroy Reding), bocah 10 tahun yang pernah diasuhnya. 

Ketidak bahagiaan yang tengah dialami Nicole digambarkan oleh Stéphane LaFleur dalam wujud quirky comedy. Seperti insomnia akut sepanjang musim panas, kunci sepedanya yang selalu sulit dibuka, serta kehadiran Martin, bocah yang dewasa sebelum waktunya dan masih banyak lagi. Karakter Martin adalah yang paling absurd di sini. Meski bocah, Martin memiliki suara ‘berat’ seperti orang dewasa pada umumnya (disuarakan oleh Alexis Lefebvre) berikut dengan tindak tanduknya. Tidak mengherankan bila Martin sempat mengutarakan isi hatinya dan membuat Nicole harus kucing-kucingan dengannya. Bukan sebagai tempelan belaka ketika LaFleur menghadirkan absurditas kental di film ini. Semuanya memiliki makna terkandung yang diminta pada karakter utama, Nicole, untuk bisa mengekstrak dan mendapatkan jawaban dari sana. Pada akhirnya, apakah Nicole berhasil memperoleh pencerahan dari aneka macam iring-iringan aneh yang memenuhi liburan musim panasnya ?. Semua akan keluar ketika Nicole sudah melewati puncak titik jenuhnya. 

Bagian ‘aneh’ dalam “Tu Dors Nicole” adalah perwujudan dari segala macam halangan yang membuat Nicole tidak bisa menikmati masa liburnya. Yang menjadi kesalahan Nicole sendiri adalah ia tidak tahu bagaimana hal-hal mengganggu tersebut berperan penting sebagai titik balik. Mengapa selalu saja Nicole kesulitan membuka kunci sepedanya tiap kali berfikir akan ke Islandia?. Kebetulan yang aneh kah ?. Oh, ternyata Stéphane LaFleur berpesan agar Nicole tidak kemana-mana. “Cukup di Quebec saja, kau akan temukan hal-hal menyenangkan selama musim panas ini”, mungkin begitu apa yang dikatakan Stéphane LaFleur. Petualangan Nicole semakin menarik lagi saat Stéphane LaFleur menyelipkan persahabatan dan cinta yang merupakan salah satu bagian esensial dalam coming-of-age drama. Tidak ingin berjalan mulus seperti drama serupa, LaFleure justru mengubahnya menjadi pengkhianatan yang ‘panas’ di musim panas. Tapi dari situlah, sang karakter utama kita ini justru mendapatkan experience lewat ujian yang menarik sebagai pengisi liburan. 

Seperti umumnya film-film arthouse, “Tu Dors Nicole” bertutur dengan tempo yang pelan tapi tidak pernah membosankan. LaFleure menyebarkan banyak clue menarik pada filmnya yang lantas berkumpul pada satu titik di mana menjadi jawaban atas konflik dari karakter utama. Dengan alasan menarik itulah LaFleure menjadikan film ini terasa berenergi dan tidak pernah kehilangan akan pesonanya. Dan lagi, komedinya memang tidak biasa, tapi tidak berakhir menjadi konyol tanpa makna.  “Tu Dors Nicole” juga kuat akan pesan yang disampaikan di dalamnya tentang bagaimana kebahagian bisa saja muncul dari hal-hal kecil di sekitar tanpa pernah diduga. Tidak perlu menunggu lama. Tidak perlu sampai ke tempat jauh. Jika apa saja yang tersaji di sekeliling dapat diramu menjadi sesuatu yang menyenangkan. Boleh jadi, film ini merupakan ‘tamparan halus’ bagi kita yang sering tidak puas dan mengabaikan apa yang sudah dimiliki, lalu meminta lebih. Singkat kata, “Tu Dors Nicole” adalah film sederhana bagaimana sederhananya menikmati hidup ini.
8,5 / 10

1 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !