Sabtu, 26 Desember 2015

STAR WARS: THE FORCE AWAKENS [2015]

Saya mengakui bahwa saya bukanlah penggemar berat dari “Star Wars”, walau saya sudah menonton kesemua filmnya. Meski begitu, bukan berarti saya meremehkan franchise yang terkenal seantero dunia ini. Saya datang untuk menontonnya dengan penuh pengharapan besar bahwa “The Force Awakens” akan memiliki hasil yang sangat memuaskan. Bahkan tidak terlintas sedikit pun dalam pikiran bila installment ketujuh ini bakal mengecewakan. Saya tipikal penikmat film yang jarang mengikuti trailer sebuah film; selain karena alasan lebih memilih kejutan. Namun itu tidak berlaku bagi “The Force Awakens” yang sudah saya tonton teaser-nya sejak satu tahun yang lalu; sebab godaan “Force-nya” begitu kuat memaksa saya. Hasilnya—film arahan J. J. Abrams (Super 8, 2011) ini memang melebih ekspektasi saya.

Film berlatar 30 tahun sejak peristiwa dalam “Return of The Jedi” (1983). Luke Skywalker (Mark Hamill), Jedi terakhir, dinyatakan menghilang. Muncul organisasi baru bernama The First Order (pecahan dari Galactic Empire), di bawah komando Kylo Ren (Adam Driver), berusaha menghabisi Luke serta menghancurkan Republic. Di sisi lain ada The Resistance yang dipimpin oleh Leia Organa (Carrie Fisher) yang menjadi lawan bagi The First Order sekaligus mendapatkan informasi keberadaan Luke. Narasi berpindah pada seorang gadis scavenger bernama Rey (Daisy Ridley) yang berteman dengan mantan Stormtrooper berkode nama FN-2187, Finn (John Boyega). Keduanya kabur dari gempuran TIE Fighter dengan menggunakan Millennium Falcon. Takdir menuntun mereka bertemu dengan Han Solo (Harrison Ford) dan bersiap memerangi The First Order.

Bagi Anda yang merupakan penggemar berat franchise ini, tidak ada yang lebih membuat girang selain melihat para veteran berkumpul dalam satu frame. Di sana ada Harrison Ford, Carrie Fisher, dan Mark Hamill—oops, saya tidak bisa bicara banyak untuk nama terakhir. Selain itu, beberapa karakter ikonik juga muncul memberikan rasa nostalgia, seperti Chewbacca lengkap dengan Millennium Falcon yang legendaris nampak begitu gagahnya saat harus berkejar-kejaran dengan TIE Fighter. Sound effect, theme song, opening title, sampai transisi antar adegan yang begitu klasik itu diwujudkan oleh J. J. Abrams dengan sangat sempurnanya. Saya adalah non-penggemar yang begitu kegirangan hingga tersenyum-senyum sendiri ketika semua itu muncul silih berganti di depan mata. Ada rasa kagum dan kangen, tidak bisa terbendung lagi. “The Force Awakens” adalah obat rindu bagi mereka yang setia dengan franchise ini. Bagi penggemar maupun non-penggemar.

Kali ini, tampuk karakter utama diserahkan pada Rey, seorang scavenger yang setia ditemani droid menggemaskan BB-8. Diperankan dengan sangat bagus sekali oleh aktris Inggris, Daisy Ridley. Desain kostumnya diset sedemikian rupa sehingga mengingatkan kita pada sosok Jedi; walau ia tidak memiliki latar belakang di sana. John Boyega (Attack The Block, 2011) sebagai Finn juga tampil mengesankan lewat karakter yang cukup komikal tapi tidak membuatnya goofy. Karakter Kylo Ren dimainkan oleh Adam Driver; misterius, tidak mudah ditebak, powerfull, namun sulit menyebutnya secara jelas sebagai villain. Memakai lightsaber warna merah, bertopeng hitam layaknya Darth Vader, serta bersuara berat—mengingatkan saya dengan Bane versi Tom Hardy. Ketiga karakter baru yang dimainkan oleh cast yang belum terlalu terkenal, membuat aksi ketiganya terasa begitu fresh.        

Lupakan soal plot atau beberapa hal klise kecil lainnya seperti vision sequence. “The Force Awakens” lewat tangan dingin J. J. Abrams dan naskah yang juga ia tulis bersama Lawrence Kasdan serta Michael Arndt, mampu membangkitkan kerinduan bagi para penggemar setia dan membuat decak kagum bagi mereka yang masih asing dengan “Star Wars”. Saya yang sudah tidak asing lagi dengan karakter rekaan George Lucas ini pun masih dibuat terkagum-kagum betapa epiknya film perang antar galaksi ini. Sebagai bukti, saudara saya yang tidak tahu tiap sudut “Star Wars” saja mengakui kehebatannya. Ini adalah contoh nyata bila franchise yang hampir berusia 40 tahun ini memiliki pengaruh kuat untuk tetap bisa dinikmati di tiap generasi. Sebagai tambahan—J. J. Abrams harus banyak belajar dari Takashi Miike bagaimana memanfaatkan Yayan Ruhiyan dengan benar. Janganlah menaruh harapan terlalu besar pada trio “The Raid” di sini; sebab naskahnya sendiri tidak menjembatani potensinya.

Memang benar adanya bila “The Force Awakens” mudah dikonsumsi oleh generasi awam “Star Wars”. Saya merasakan hal tersebut dengan menjadikan saudara saya sebagai indikator. Tanpa perlu menonton “The Phantom Menace” hingga “Return of The Jedi”, seri yang terbaru ini begitu mudah diserap. Tapi hal tersebut tidak lantas menjadikan jajaran prekuelnya untuk tidak ditonton. Walau bagaimanapun, siapa Luke Skywalker, Leia Organa, dan Han Solo—perlu diketahui lewat film-film sebelumnya tersebut. 

“The Force Awakens” menelan biaya $200 juta; nilai yang membuat film-film serupa pantas menyandang gelar blockbuster. Dengan bujet yang fantastis tersebut, J. J. Abrams menghabiskannya dengan cara yang benar. CGI besar-besaran yang menghidupkan perang antara galaksi hingga kehancuran planet-planet, disajikan dengan mengagumkan tanpa membuat mata lelah. “Pacific Rim” (2013) milik Guillermo del Toro adalah contoh bagaimana sebuah CGI yang kurang dimanfaatkan dengan tepat berakibat menyakitkannya pada mata. Lainnya, motion capture yang sedang ramai digunakan beberapa tahun terakhir ini diaplikasikan pada karakter Maz Kanata yang diperankan oleh Lupita Nyong’o. Di balik kemegahan CGI yang banyak menguras biaya; apresiasi dari saya muncul pada penggunaan kostum tradisional di beberapa karakter. Hal itu merupakan penghargaan besar meski teknologi sekarang yang terlampau maju bisa saja menggesernya.

Secara keseluruhan, “Star Wars” bercerita tentang good vs evil—sangat sederhana. Sisi baik atau terang digambarkan lewat Jedi, sedangkan sisi jahat atau kegelapan dengan Sith. Kedua sisi ini (baik dan jahat) menciptakan dinamika dalam kehidupan yang bahwasanya saling melengkapi satu sama lain. Dimana ada cahaya, maka di situ pulalah bayangan muncul. Seperti itu juga yang terjadi dalam “Star Wars”; kejahatan muncul maka kebaikan datang untuk melawannya, begitu juga sebaliknya. Baik dan jahat adalah sebuah siklus yang akan terus muncul. Sulit menghilangkan salah satunya. Dalam “Star Wars”, walau kejahatan yang disimbolkan oleh Sith berhasil dipadamkan, bukan berarti memusnahkan keseluruhannya. Kejahatan akan tetap ada sebagai antitesis dari kebaikan.  

1 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !