Senin, 14 Desember 2015

THE LITTLE PRINCE [2015]

“The Little Prince” diangkat dari novella tahun 1943 karya Antoine de Saint-Exupéry. Novella ini bercerita tentang seorang Penerbang yang terjatuh di gurun dan bertemu dengan seorang Pangeran Kecil dari sebuah asteroid. Film animasi dan stop-motion dari Perancis ini memang tidak secara menyeluruh mengadaptasi dari novella tersebut, akan tetapi menjadi bagian kecil dari plot utamanya. Untuk memberikan sentuhan yang berbeda (unik), sang sutradara Mark Osborne memisahkannya menjadi dua bentuk. Animasi komputer untuk plot utama dari film dan stop-motion untuk plot dari bagian adaptasi novella. Sang Penerbang disuarakan oleh Jeff Bridges (termasuk narator), sedangkan Pangeran Kecil oleh Riley Osborne yang juga muncul di bagian plot utama film.  

Walaupun tidak secara utuh mengadaptasinya, tapi inti cerita dari “The Little Prince” ini memiliki keselarasan dengan apa yang ada dalam novella karya Antoine de Saint-Exupéry. Cerita diawali oleh seorang Gadis Kecil (Mackenzie Foy) yang mendapat dukungan penuh dari ibunya (Rachel McAdams) agar dapat masuk di sekolah prestisius Werth Academy. Dukungan penuh itu meliputi belajar ekstra melelahkan yang harus ia habiskan selama libur musim panas. Rutinitas menuntut si Gadis Kecil untuk belajar lebih giat lagi atas kegagalan sebelumnya saat wawancara masuk ke Werth Academy berikut kegiatan harian yang terjadwal ketat. Semua berubah ketika Gadis Kecil bertemu dengan Penerbang (Bridges) yang menceritakannya tentang Pangeran Kecil lewat pesawat kertas.
Film dimulai ketika narasi yang dibacakan oleh Jeff Bridges bercerita tentang masa kecil Penerbang yang menggambar seekor ular tengah memakan gajah. Bukannya mendapat apresiasi atas karya imajinatifnya itu, Penerbang justru ditertawakan karena ia dikira menggambar “topi”. Penggalan cerita diawal ini bisa saja menjadi teguran yang cukup keras, khususnya bagi pendidik ataupun orang tua yang tengah mengiringi pertumbuhan anaknya. Apa yang salah dengan gambar tersebut ?. Tidak ada, kecuali mereka yang mengharapkan seorang anak harus menirukan persis dengan apa yang diminta. Sudah seharusnya, seorang pendidik/orang tua memberikan kebebasan bereskpresi dan berimajinasi dengan apa yang ada dalam pikiran seorang murid/anak. Menggambar ular berbentuk bulat, silakan. Bentuk segitiga pun juga tidak masalah. Lantas, mengapa harus mengekangnya ?.

Hal ini membuat saya teringat pada masa kuliah dahulu. Tepatnya di bulan-bulan awal semester tujuh. Seorang dosen tamu menjadi pengampu pada  salah satu mata pelajaran, meminta seluruh mahasiswa dalam satu ruangan untuk menggambar “gunung”. Apa yang terjadi ?. Hampir seluruh mahasiswa (mungkin semuanya) menggambar gunung dengan bentuk dua buah segitiga dengan matahari bulat di tengahnya. Persis seperti apa yang sebagian besar dari kami peroleh sewaktu masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Melihat keadaan tersebut, beliau berkata bahwa semacam inilah bentuk pendiktean yang salah sedari kecil. Akibatnya, kebebasan seseorang untuk berimajinasi menjadi terpenjara. Beliau lantas menambahkan jika masalah sederhana ini adalah alasan menurunnya daya kreativitas seseorang. 

“The Little Prince” lewat naskah yang ditulis oleh Irena Brignull dan Bob Persichetti memperkenalkan kita pada sosok Gadis Kecil yang terjebak dalam hubungannya dengan Sang Ibu yang over-bearing. Diceritakan bahwa kegagalannya masuk dalam Werth Academy adalah buah kesalahan Sang Ibu yang terlalu mengatur tanpa memberikan ruang gerak bagi Gadis Kecil untuk berekspresi. Brignull dan Persichetti memang tidak secara terang-terang menyalahkan Sang Ibu sekalipun berupa dialog. Tapi, mereka menuntut penonton untuk lebih peka dan memahami keadaan tersebut dengan pikiran yang lebih terbuka.

“The Little Prince” penuh dengan pemaknaan berupa simbol-simbol yang sepertinya cukup sulit dipahami oleh anak-anak. Mencoba berkaca pada sumber aslinya, jelas sekali bila novella tersebut dipersembahkan bagi pembaca anak-anak, terlihat dari goresan visualnya yang memukau dan mudah disukai. Tetapi tidak bisa ditolak bila novella karya Antoine de Saint-Exupéry itu memang sangat kaya akan imajinasi yang mana tidak bisa lepas dari warna-warni kehidupan anak. Turut pula di dalamnya Saint-Exupéry mengkritisi gagalnya sistem pendidikan yang bahkan sudah dimulai sejak dasar. Permasalahan serupa yang pernah diangkat Rajkumar Hirani lewat “3 Idiots” (2009). Melihat latar belakang Saint-Exupéry yang seorang aristokrat, bisa saja pengalaman hidupnya ia tuangkan dalam novella tersebut. Mungkin saja, mengingat kehidupan para bangsawan yang identik dengan aturan-aturan ketat nan kaku.  

Simbolisasi dalam penceritaan versi aslinya banyak ditumpahkan dalam adaptasi film ini, indah dan penuh akan makna. Coba lihat di bagian awal ketika Gadis Kecil tengah wawancara masuk sekolah ternama itu. Tergantunglah nomor urut di lehernya, seolah mengisyaratkan bila Gadis Kecil adalah “narapidana” yang tengah diinterogasi dan bersiap memasuki penjara. Pastinya Anda sudah mengetahui maksud dari “penjara” tersebut.    

Sebagai tontonan bagi anak-anak, “The Little Prince” rasanya memang tidaklah mudah. Bahkan bagi penonton dewasa sekalipun, membutuhkan penghayatan yang lebih dalam untuk memahaminya. Selain itu diperlukan pula imajinasi yang tinggi untuk merangkai setiap keindahan yang tersaji lewat cerita maupun visualisasi animasi dan stop-motion-nya. Namun bila bicara mengenai target, “The Little Prince” sukses menyasar tidak hanya bagi penonton anak-anak semata, melainkan juga penonton dewasa. Bagi anak-anak, film ini adalah sarana memperkuat daya imajinasi dan upayanya menegaskan untuk menikmati masa kecil nan indah tersebut. Bagi dewasa, film ini kembali mengingatkan bahwa kebahagian kecil yang hilang ketika dewasa mungkin saja terkubur dalam-dalam di masa kanak-kanak. Alhasil, “The Little Prince” berhasil memaksa saya untuk menggali lagi memori indah tersebut.
8,5 / 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AYO KITA DISKUSIKAN !