Senin, 21 Desember 2015

TO KILL A MOCKINGBIRD [1962]


Beberapa waktu lalu, saya sempat menggeledah isi dari external harddisk dengan recovery software, berharap menemukan kembali film-film yang telah terhapus. Saya ingat, ketika itu tengah krisis film untuk ditonton. Salah satu yang cukup mengagetkan adalah temuan film “To Kill a Mockingbird” ini. Saya mencoba kembali mengurai ingatan-ingatan lalu, sejak kapan saya pernah memiliki film ini ?. Tidak pernah. Sampai kemudian saya teringat bahwa teman saya pernah meminjam external harddisk dan menyimpan film ini—lalu kemudian ia memindahkan dalam laptopnya. Tidak asing lagi dengan judulnya, saya pun memastikan diri untuk menontonnya di saat yang tepat. Inilah film yang memenangkan tiga Oscar (dari delapan nominasi), salah satunya Best Picture meski kemudian tumbang dari “Lawrence of Arabia”.  

Bercerita tentang apakah film ini ?. “To Kill a Mockingbird” bercerita tentang seorang gadis 10 tahun yang menjadi saksi akan ketidakadilan di kampung halamannya, Maycomb (kota fiksi), Alabama. Gadis tersebut bernama Scout Finch (Mary Badham), tinggal bersama ayahnya, Atticus (Gregory Peck) dan kakak laki-lakinya, Jem (Phillip Alford) di era 30-an. Atticus adalah seorang pengacara, tampan, berhati lembut, dan seorang ayah yang penyayang. Suatu ketika, Atticus menjadi pembela bagi Tom Robinson (Brock Peters), seorang pria kulit hitam yang dituduh memerkosa wanita kulit putih. Scout, Jem, dan teman baiknya, Dill (John Megna), seringkali mengendap-endap masuk persidangan tanpa mengerti apa yang dilihatnya.
Film ini bertutur melalui sudut pandang seorang Scout dewasa (Kim Stanley) dalam bentuk voice-over. Menceritakan kisah hidupnya bersama keluarganya yang sederhana, tinggal di Maycomb yang terkenal akan hawa panasnya ketika itu. Seperti halnya anak kecil pada umumnya, Scout, Jem, dan Dill kerap kali bertingkah menggemaskan tanpa tahu bahwa apa yang mereka lakukan mungkin menyakiti orang lain. Salah satunya adalah menjahili “Boo” Radley (Robert Duvall), dimana masyarakat sekitar menyebutnya sebagai “orang gila”. Sebuah kewajaran bagi anak-anak kecil yang belum tahu apa-apa. Di saat itu pula saya teringat masa kecil yang sering melakukan hal serupa, menganggap apa yang dilakukan benar adanya. Kepolosan mereka bertiga juga nampak ketika mereka memasuki persidangan Tom Robinson; entah apa yang mereka pikirkan, sidang yang menyangkut nyawa tidak bersalah itu seolah tidak berarti apa-apa bagi mereka.

“To Kill a Mockingbird” disutradarai oleh Robert Mulligan. Naskahnya ditulis Horton Foote, adaptasi dari novel berjudul sama karya Nelle Harper Lee di tahun 1960. Konflik apakah yang coba diangkat dalam film ini ?. Seperti kebanyakan, film ini mengangkat isu rasial yang hingga kini pun masih relevan, baik di Amerika maupun di luarnya. Court drama ini berbicara soal pandangan buruk di mana kulit hitam selalu dipersalahkan tanpa mau menggali lebih mendalam sumber konfliknya. Dalam “Mockingbird” dicontohkan seorang Tom Robinson yang berkulit hitam, harus menerima kenyataan pahit difitnah memerkosa. Pembelaannya serasa tidak berguna, ketika warna kulitnya dijadikan sebagai patokan kebersalahannya. Para saksi termasuk dokter ahli visum (notabene berkulit putih), seakan menutup mata pada kasus tersebut. Mungkin ada yang percaya Tom tidak bersalah, tapi mereka tidak mau tahu.

Dari sebagian besar referensi yang saya baca, “Mockingbird” memang membicarakan isu racism yang masih kerap terjadi khususnya di Amerika. Namun dari apa yang coba saya resapi, “Mockingbird” tidak hanya bercerita pada ranah tersebut, melainkan lebih luas lagi. Yaitu perlawanan terhadap diskriminasi yang dibentuk oleh masyarakat. Dalam contoh ini adalah “Boo” Radley, diperolok-olok sebagai “orang gila” dan berakibat membuatnya terkurung bertahun-tahun di dalam rumahnya. Apakah “Boo” seorang yang berkulit hitam ?. Tidak, ia berkulit putih. Seperti halnya warga kulit hitam, hidupnya terasingkan hanya karena pandangan miring warga yang dilontarkan padanya. Hal serupa juga dirasakan oleh warga kulit hitam yang mengalami diskriminasi serupa oleh sudut pandang yang selama ini selalu keliru. 

Pada intinya, “Mockingbird” adalah bentuk pemaparan bagaimana mengubah sudut pandang sempit pada seseorang atau kelompok tertentu. Hal tersebut terucapkan dengan sangat bijak oleh karakter Atticus pada Scout, “You never really understand a person until you consider things from his point of view, until you climb inside of his skin and walk around in it”. Kutipan ini sederhana, mudah dimengerti, dan timeless, namun disayangkan hingga kini pun masih saja ada yang keluar dari bingkai kutipan tersebut. Akibatnya, konflik serupa masih sering terjadi di era kini. Selain konflik tersebut, saya mengamati bahwa “Mockingbird” juga mengangkat soal kesenjangan sosial yang sering didengungkan di dalamnya. Bukti terdapat pada naskahnya yang beberapa kali menyinggung soal “baca-tulis”; faktor pembeda strata yang tampak gamblang kala itu.  

Bicara soal kutipan itu, tidak akan pernah lepas pula dari Atticus Finch, hero terbaik versi American Film Institute. Keramah tamahannya, kelembutan gaya bicaranya, dan bagaimana ia menghandle setiap masalah (termasuk kepada dua anaknya) memiliki daya tariknya sendiri. Salah satu poin pentingnya adalah bahwa karakter tersebut dihidupkan dengan baik lewat performa memukau Gregory Peck; tidak salah bila ia memenangkan Best Actor di Oscar. Namun saya cukup menyesalkan dengan salah satu adegan dimana Atticus menembak mati seekor anjing gila. Dengan alasan menggali potensi lain karakter Atticus yang jago menembak, adegan tersebut mendistraksi build-up yang sudah kuat pada karakternya di awal-awal.   

Siapakah Nelle Harper Lee ?. Ia adalah seorang novelis Amerika yang meraih penghargaan Pulitzer Prize lewat novel “To Kill a Mockingbird” ini. Nelle adalah sahabat sejak kecil dari Truman Capote, juga novelis terkenal lewat karya besarnya “In Cold Blood”. Beberapa bulan yang lalu, saya sempat menulis ulasan film “Capote” (2005), biopic dari Truman Capote. Karakter Nelle ada dalam film tersebut. Selain bersahabat sejak kecil, Nelle juga berkontribusi bagi penelitian Truman terkait pembantaian di Kansas Barat yang kemudian melahirkan “In Cold Blood”. Novel “To Kill a Mockingbird” banyak diilhami oleh kisah hidup Nelle sendiri, semasa ia berusia 10 tahun (inspirasi karakter Scout) dan tinggal di Monroeville, Alabama. Ia juga berkata bahwa karakter Dill tercipta dari sosok Truman Capote. 

Nelle menggunakan nama sejenis burung, mockingbird, dalam judul novelnya ini. Apa alasan di baliknya ?. Saya pelajari dari wikipedia, bahwa mockingbird termasuk dalam genus “mimus”, yaitu sejenis burung yang memiliki kemampuan menirukan suara hewan lain. Bahkan bisa menirukan bunyi suatu benda. Bagi sebagian besar orang, mockingbird termasuk hewan yang mengganggu. Bisa dilihat dari namanya, “mocking=mengolok-olok”. Tapi sebagiannya lagi, menganggap jika mockingbird dengan kelebihannya tersebut merupakan ‘permata’ yang menghiasi alam; seperti yang dikatakan oleh Atticus. Maka bila ada seekor mockingbird dibunuh, itu adalah kesalahan dalam menilainya.


3 komentar:

  1. Buku sekuelnya bikinan Harper Lee udah keluar kan? :) jadi penasaran,

    Ini salah satu film black and white pertama yg ane tonton setelah 12 Angry Men. Ane suka bagaimana film ini berjalan begitu smooth walau memakai sudut pandang bocah kecil. Dan serius , adegan court room sama adegan ancaman si bapak2 penjahat yg nuduh anaknya dilecehkan itu...thrilling banget.

    Dan....ha! Robert Duvall. Ane ga nyangka ada dia dan akhirnya karakternya akan muncul beneran.

    BalasHapus
  2. perbedaan dari novel dan film dari to kill mockin bird sendiri apa ?

    BalasHapus
  3. Hadir dari sekilas info bahwa untuk membuat novel ini Harper Lee menabung THR nya agar bisa fokus selama setahun penuh untuk menulis.

    BalasHapus

AYO KITA DISKUSIKAN !