Selasa, 15 Maret 2016

SHIP OF THESEUS [2013]

Pernahkah Anda mendengar mengenai paradoks bernama “Ship of Theseus?” Ya, itu adalah paradoks yang pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Yunani, Plutarch. Paradoks itu mengangkat sebuah pertanyaan mengenai identitas dalam sebuah entitas.

Pada zaman dahulu, Theseus (tokoh mitologi Yunani) dari Athena datang ke Crete dengan kapal untuk mengalahkan Minotaur. Setelah berhasil mengalahkan Minotaur, kapalnya lantas disimpan untuk dikenang. Karena semakin bertambahnya usia, kapal Theseus mengalami pelapukan. Setiap bagian dari kapalnya kemudian diganti dengan materi baru hingga tidak menyisakan satu pun bagian asli. Pertanyaannya adalah apakah kapal tersebut masih milik Theseus yang dulu? Paradoks itu menjadi judul sekaligus bahasan dalam film yang disutradarai oleh Anand Gandhi ini.

Secara garis besar, “Ship of Theseus” terbagi menjadi tiga segmen cerita. Sebagian besarnya mengambil latar di Kota Mumbai, India.
Segmen pertama : Aaliya Kamal (Aida El-Kashef) adalah fotografer dari Mesir. Ia menikah dengan pria India dan tinggal pula di sana. Walau seorang fotografer pro dan kerap mengadakan pameran, Aaliya mengalami masalah penglihatan (saya menduga katarak). Pada adegan awal diceritakan bila Aaliya masih dalam proses transplantasi kornea sementara ia aktif berburu foto.

Aaliya memiliki sense yang tinggi dalam mengabadikan setiap momen menarik dengan kameranya. Pendengaran, penciuman, hingga indera perabanya berpengaruh besar dalam menentukan seberapa indah hasil jepretannya. Begitu penghilatannya kembali, Aaliya justru merasa kehilangan kemampuannya dalam membidik gambar indah nan dramatis. Seperti dalam paradoks “Ship of Theseus,” apakah Aaliya masih seseorang yang sama?

Segmen kedua : Tersebutlah seorang pendeta taat bernama Maitreya (Neeraj Kabi). Berbeda dengan pendeta lain yang satu aliran dengannya, Maitreya adalah sosok yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas. Ia ikut mengajukan petisi di pengadilan dalam menentang eksploitasi pada hewan meski di baliknya bertujuan baik.

Suatu ketika, Maitreya didiagnosis menderita liver cirrhosis dan mengharuskannya untuk dioperasi. Pengobatannya pun diketahui berhubungan dengan orang-orang yang selama ini ditentangnya. Ternyata, ia lebih memilih mati secara perlahan daripada diobati dengan media yang menurutnya bertentangan dengan apa yang ia yakini. Namun, pertanyaan dari sahabatnya yang seorang pengacara berhasil mengubah cara pandangnya.

Segmen ketiga : Navin (Sohum Shah) seorang pialang saham baru saja mendapatkan ginjal baru. Ia seorang yang oportunis. Kemana-mana ia membawa komputer dan melihat laju perkembangan saham dan keuangan. Sederhananya, apa yang kita lihat adalah Navin seorang yang hanya memikirkan masalah uang. 

Pemikirannya berubah saat ia mengira bahwa ginjalnya berasal dari pria miskin yang dicuri dan dijual oleh oknum dokter. Setelah mengetahui kebenarannya, Navin membantu pria miskin itu mendapatkan kembali ginjalnya. Mengejutkannya, pria miskin itu justru lebih memilih uang daripada ginjalnya kembali. 

Paradoks “Ship of Theseus” adalah kunci dalam memahami keseluruhan plot dalam film ini. Kesemua karakter utama dalam ketiga segmen memiliki satu permasalahan yang sama terkait identitasnya sebagai manusia. Apakah ia masih sama seperti dahulu setelah melewati fase-fase yang membuatnya belajar mengenai kehidupan ini?
Bagi saya tidaklah terlalu sulit dalam mencerna apa yang disampaikan oleh Anand Gandhi di sini. Ketiga karakter utama tidaklah jauh-jauh dari apa yang terangkum dalam paradoks yang telah saya tuliskan di paragraf atas. Aaliya menginginkan penglihatan kembali, tapi setelahnya ia malah kehilangan kemampuan uniknya dalam mengambil gambar. Maitreya memahami bahwa hidup adalah anugerah dan untuk mendapatkannya, ia harus berhenti menjadi idealis. Navin telah belajar bahwa ada yang lebih penting dari uang. Sebaliknya, ia tahu bahwa masih ada yang menganggap uang adalah segalanya.

Aaliya, Maitreya, dan Navin dipertemukan dalam satu adegan pada segmen terakhir. Ketiganya sama-sama memiliki masalah kesehatan pada organ tubuhnya; mata – hati – ginjal. Di luar persoalan pencarian identitas yang melekat dengan paradoks dalam judulnya, “Ship of Theseus” juga mengungkapkan banyak permasalahan seperti cinta, idealisme, keadilan, kehidupan, dan juga kematian.   

“Ship of Theseus” membuat saya belajar lagi bagaimana memandang indah hidup ini. Terkadang manusia tidak merasa cukup atas apa yang dimilikinya selama ini dan meminta lebih. Yang tidak disadari adalah apa yang telah diterima merupakan sebuah berkah bahwasanya orang lain belum tentu memiliki sesuatu yang serupa. Film ini benar-benar mampu membuat Anda bertanya-tanya dalam diri apakah telah bersyukur setiap harinya?

4 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !