Minggu, 13 Maret 2016

THE SURVIVALIST [2015]

Ketika akan menonton film bertemakan survival, ada banyak hal yang tiba-tiba terlukis dalam benak. Contoh yang bisa saya tuliskan adalah perjuangan hidup di tengah kesulitan seperti tersesat dan kesulitan pangan. Dalam proses bertahan hidupnya, si karakter penyintas juga sudah terbiasa dalam menghadapi Mother Nature yang seakan tidak berkawan. Hampir semua film survival memiliki definisi yang sama persis. Tidak terkecuali film arahan Stephen Fingleton yang mengeksplorasi betapa kerasnya hidup di alam liar ini.

“The Survivalist” memakai latar dystopia. Pedalaman hutan yang masih rimbun pepohonan menjadi saksi si karakter utama. Sebut saja ia Sang Penyintas (Martin McCann). Film ini tidak secara rinci mengenalkan namanya. Mungkin saja Stephen Fingleton yang juga menulis naskahnya ingin menguatkan kesan karakter yang misterius dan benar-benar menyatu dengan alam.
Sang Penyintas tinggal dalam sebuah rumah kabin di tengah hutan. Ia makan dari hasil hutan seperti jamur liar. Untuk memenuhi asupan setiap hari, ia juga menanam sendiri aneka tumbuhan di depan rumah kabinnya. Hampir tidak ada jenis hewan yang bisa dijerat untuk dimakan. Malahan yang ada justru sesama penyintas yang terkena jebakannya. Mereka tidak lain juga berjuang dari bencana kelaparan yang melanda era dalam film ini.

Telah tujuh tahun Sang Penyintas hidup sendiri di tengah belantara. Bermodal senapan laras panjang, ia berhati-hati bila ada penyintas lain yang mencoba mendapatkan kerajaannya.” Hidupnya penuh dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Setiap waktu yang ada merupakan ancaman yang dapat merenggut jiwanya.

Suatu ketika, datanglah dua orang wanita meminta makan. Kali ini benar-benar berbeda—begitu pikirnya. Biasanya, hanya para pria yang selalu ia temui. Wanita adalah manusia langka yang ia lihat selama tujuh tahun ini. Wanita yang lebih tua bernama Kathryn (Olwen Fouere)—rambutnya panjang sebahu berwarna putih. Satunya lagi adalah Milja (Mia Goth)—tidak lain cucunya sendiri.

Tidak mudah bagi seorang asing untuk bersosialisasi dengan seorang penyintas. Apalagi sampai meminta jatah makanan. Sang Penyintas tidak lantas berbaik hati dengan memercayai mereka berdua. Kewaspadaan ia tingkatkan. Penawaran untuk barter dari wanita itu tidak membuat Sang Penyintas langsung menyanggupi permintaan. Ia masih todongkan laras panjangnya di depan Kathryn dan Milja. Bahkan ia menggeledah dengan amat teliti akan apa yang dibawa oleh mereka.
Di sini karakter Sang Penyintas dibangun dengan kuat. Ia bukan sekedar penyintas yang menginginkan bantuan orang lain demi bertahan hidup. Bagi dia, orang lain adalah musuh. Hanya diri sendirilah yang sepatutnya dipercayai. Kesendirian selama bertahun-tahun tidak ayal membuat pribadinya semakin kuat dan tangguh. 

Karakter Kathryn dan Milja bukan sekedar numpang lewat. Mereka berdua mengisi plot untuk menjadi semakin menarik. Stephen Fingleton begitu cerdasnya dalam menempatkan dua karakter ini; akibatnya saya terjebak pada pilihan untuk memercayainya atau tidak. Naluri liar Sang Penyintas juga diuji coba seberapa ia yakin jika Kathryn dan Milja bukanlah bermuka dua. 

Sang Penyintas hidup di dunia dimana siapa pun adalah musuh. Di dunia tersebut, tidak berlaku lagi kebiasaan memberikan rasa iba kepada orang yang meminta bantuan. “Mereka pasti orang jahat”—seperti itu kira-kira apa yang ada dalam pikiran setiap penyintas. Tidak ada yang lebih dipercayai selain diri sendiri.

“The Survivalist” memberikan pengalaman mengagumkan dalam menyelami kehidupan seorang penyintas yang begitu kejam, keras, dan liar. Film ini menunjukkan kepada kita bahwasanya alam ternyata bisa menjadi lawan yang menakutkan. Sebagaimana hukum alam, bahwa siapa yang kuat dialah yang akan berjaya. Hal itu tidak lain juga merupakan proses regenerasi tiap individu. Dimana ada yang lemah, ia akan ditaklukkan oleh yang kuat. Kemudian datang lagi yang lebih kuat dan begitulah seterusnya. 

2 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !