Minggu, 17 Juli 2016

CEMETERY OF SPLENDOUR [2015]

Menciptakan alam khayalan yang megah, tidak perlu dengan bujet tinggi dalam sebuah film. Setidaknya hal itu yang dilakukan oleh Apichatpong Weerasathakul dalam film ini. Dari production value, “Cemetery of Splendour” memang terlihat glossy. Walau dengan keterbatasan dan kesederhanannya, Apichatpong Weerasathakul berhasil menciptakan semesta tanpa batas.

Membicarakan production value dalam film, memang tidak selamanya berjalan satu arah. Dengan biaya minim, tidak selalu menghasilkan film yang berkualitas rendah pula. “Cemetery of Splendour” berhasil menarik saya jauh ke dalam dunia yang disuguhkannya. Membuat saya seolah tengah berada di suatu dimensi lain yang penuh dengan keterasingan namun menenangkan. Mengejutkan. Inikah dampak dari sebuah film yang sederhana ini?

“Cemetery of Splendour” berpusat pada fenomena misterius yang menyebabkan para tentara mengalami gangguan tidur. Bukan sembarang tidur, mereka seolah berhibernasi. Para tentara tersebut ditempatkan dalam rumah sakit yang dibangun dari bekas bangunan sekolah.

Seorang wanita paruh baya bernama Jenjira (Jenjira Pongpas), mengabadikan waktunya merawat salah seorang tentara. Itt (Banlop Lonmoi) namanya. Tanpa sanak keluarga yang mengunjunginya, bangkitlah rasa iba Jen—sapaan akrab Jenjira.

Jen mengalami masalah pada kakinya—bagian kanan lebih panjang dari kiri. Hal itu membuatnya harus memakai penyangga ketika berjalan. Suaminya berasal dari Amerika, pensiunan tentara. Mengunjungi bekas sekolah tersebut seolah mengembalikan kenangan masa lalunya. Dahulu ia bersekolah di sana. Dalam salah satu adegan, Jen bercerita jika sering mengantuk saat sekolah dulu. Mungkinkah ada hubungannya dengan epidemik itu?

Sembari merawat Itt—yang kemudian diakui sebaga putranya, Jen akrab pula dengan Keng (Jarinpatra Rueangram), seorang wanita yang disebut memiliki indera keenam. Keng dapat meramal, melihat masa lalu seseorang, dan hal-hal lain semacamnya. Di rumah sakit itu, kemampuan Keng dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan roh para tentara yang tengah tertidur pulas.

Apichatpong Weerasathakul selaku penulis naskah juga, banyak memasukkan isu dan kultural di Thailand ke dalam film ini. Ia juga menuturkannya secara subtle, membuat “Cemetery of Splendour” semakin kaya akan aspek misterinya. Namun film ini bukan mencari mengenai sebab musabab fenomena tidur masal itu. Akan tetapi, film ini berusaha menyelami sisi lainnya. Tentu, lebih pada arah fantasi.

Kultur Thailand memiliki cukup kedekatan dengan Indonesia. Keduanya masih kental diliputi kepercayaan soal mistis. Bagi kedua masyarakat ini, meramal atau menjadi media dari makhluk alam lain adalah hal yang lumrah. Apichatpong Weerasathakul menggunakan karakter Keng untuk mewakili cara berfikir sebagian besar masyarakat Thailand, yang terkadang masih irasional.

Kita tidak tahu apakah Keng benar-benar memiliki kemampuan tersebut. Sebab sang sutradara memang tidak menginginkan kita untuk memikirkannya. Tapi apa yang harus kita lakukan adalah mengamati interaksi antar karakter di sini. Mereka percaya dengan kekuatan Keng. Mereka percaya akan kekuatan dari alam lain, termasuk kedatangannya sekali pun di siang bolong. Dari situlah kita akan memahami bagaimana pola pikir masyarakat sana, serta tanggapan dari sesamanya.

Sempat sadar dari tidur, Itt dan Jen menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua di dalam bioskop, layar di depan menampilkan trailer film horror. Ini adalah adegan yang menarik atensi saya. Lagi-lagi, kita bicara kultur di sini. Yang mana? 

Kepercayaan tinggi orang Thailand pada hal-hal gaib, memang mendorong mereka dalam hal serupa di industri perfilman. Thailand dikenal sangat getol dalam memroduksi film/serial tv berbau horror. Begitu pun Indonesia—kita semua tahu itu. Film horror adalah komoditas di sana, selain drama remaja. Ini adalah sekelumit contoh bagaimana isu dan kultural ditanamkan dalam “Cemetery of Splendour.”

Dari semuanya, saya paling menyukai sekuen ketika Jen dan Itt (dengan tubuh Keng), melakukan semacam perjalanan spiritual. Mereka berjalan-jalan di rerimbunan pohon, dimana dalam masa lalu serta dimensi lain, adalah sebuah istana. Sekuen ini sangat menarik, karena Apichatpong Weerasathakul tidak menampilkannya dengan dua sudut pandang. Oleh karena itu, kita seakan diajak untuk bermain dengan imajinasi dalam mewujudkan narasinya.

“Cemetery of Splendour” adalah arthouse dengan penggunaan steady-cam. Temponya sangat lambat; bukan jenis film yang mungkin membuat Anda duduk anteng. Film ini mengajak kita menggali setiap potensi yang tertuang dalam setiap aspek di sekitar kita. Menghayati, memahami, dan belajar mencintainya. Tidak mudah mengikutinya, tapi “Cemetery of Splendour” mampu menuntun kita perlahan.

2 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !